Sebuah Lamunan


Di pagi hari pukul 08:36 di kontrakan tempat aku tinggal, dalam posisi duduk menghadap ke utara sambil menatap tirai yang tertutup. Aku berandai-andai menjadi seorang pilot.

Seorang yang mampu menerbangkan pesawat tempur. Pesawat yang memiliki roket dan peluru dibagian kiri kan sayapnya.

Sebuah lamunan yang tidak masuk akal, "pilot" mengendarai mobil saja aku belum berani, pernah dulu memanjat pohon kelapa dan ku rasa itu yang paling tinggi aku berada di langit.

Lamunanku pecah saat seorang mengetuk pintu, tepat di saat bayanganku melambung begitu jauh.

Ternyata seorang lelaki paruh baya yang menagih iuran sampah. Setelah orangnya pergi aku berusaha melanjutkan lamunanku lagi namun sepertinya sudah tidak asyik lagi.

Apakah itu sebuah pertanda bahwa lamunanku hanya sebuah "Sampah" sampah yang tidak ada nilainya kalau tidak di urai dan dijadikan bentuk lain yang lebih berguna dan bermanfaat. Sampah yang hanya mengisi kekosongan ruang, syukur kalo sampahnya tidak bau.

Aku bisa saja menjadi apapun yang aku mau, namun ketika aku 'mau' PR nya apakah aku mau juga untuk memperjuangkannya.

Selalu bersyukur adalah langkah termudah untuk menggapai apa yang aku mau. Setidaknya aku sudah mencapai cita"ku yang dulu, dan kini aku bercita-cita kembali.

Butuh proses yang cukup amat panjang, biaya yang tidak sedikit, waktu yang lumayan dan curahan pikiran yang tiada henti.

Untuk menjadi seorang Guru (cita-citaku dulu) adalah pilihan, mampukah aku mempertanggung jawabkan pilihanku itu? Aku akan tunggu 5-10 tahun ke depan.

Allah memang sudah menggariskan banyak takdir untukku dan ternyata takdir ini yang aku pilih.

Disisi lain Ku lihat seorang temen yang masih terjaga dalam tidurnya, masih memakai selimutnya dan alarm yang berbunyi nyaring di kanan telinganya tidak sedikitpun menggangunya.

Takut iya terbangun, Aku coba untuk keluar dari kontrakan, duduk di atas motor sembari mendengarkan kicauan burung-burung tetangga.

Orang berlalu lalang menghadapi waktu paginya. Ada pula seorang pedagang sayur yang berteriak teriak tak henti.

Dari sini aku berfikir untuk berhenti untuk mengeluh dan lebih memilih untuk bersyukur dari setiap detik kenikmatan yang Allah beri kepadaku.

0 Response to "Sebuah Lamunan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel